poem

ragu

Entah, ini kali keberapa

Keraguan datang, saat kepastian diperlukan

Halangan tak ada

Hanya

Hati ini masih enggan untuk berkata

iya

 

ketika Mama dan Bapak terus menanyakan,

ketika tangan terulur, menawarkan masa depan,

wahai hatiku,

ada apa denganmu?

kenapa masih juga

ragu

 

Pasar Rebo, 25 Desember 2018

poem

Percakapan

Bunda,

Mengapa tadi bunda membentak?

bukan tidak sayang kan?

sedang risaukah bunda?

Nak,

hati bunda kacau, maaf

bukan bunda tak sayang bukan

benang-benang itu kian sulit terurai, Nak.

Bunda,

Apa bunda kalut?

serumit itukah bunda?

ataukah bunda sedang marah?

hingga tadi bunda pun bermuka masam

tiada senyum bunda seperti kemarin.

Nak,

bunda tak tahu

semasam itukan muka bunda?

hingga engkau pun risau?

jikalau iya pun, dengarlah Nak

bunda bermuka masam

bukan karena marah padamu, bukan

bunda hanya lupa cara tersenyum

tak tahu lagi cara

menarik bibir ini

cara membentuk keceriaan

Bunda,

Ananda sudah besar

Jikalau berkenan, berbagilah bunda

berbagilah pada ananda

ananda di sini,

bukan hanya untuk melihat

senyum bunda

tapi ananda ingin

membentuk senyum bunda,

mengukir ceria di wajah bunda

Nak,

maafkan bunda

biarlah hanya dengan hati bunda berbagi

biarkanlah hanya dengan air mata bunda bercerita

Nak, bunda hanya tak tahu lagi

cara menghibur diri

Nak, maafkan bunda

Bunda,

kemarilah,

izinkan ananda memeluk bunda,

merengkuh lara

mengukir kembali ceria

izinkanlah bunda…

ananda menyapu

kabut itu……

Parungkuda, 16 Desember 2011

short stories

Sebuah Cerita Baru

Tit tit… sms masuk, dan Aini pun segera membukanya.

Bu, tolong tunggu bentar, saya sudah dekat.

OK.

Send. Delivered.

 

Aini memilih duduk di sofa lobi sekolah sambil menunggu.

Mati gaya juga dan malu, lama-lama menunggu. Main games udah, buka facebook udah, twitter juga udah, tapi yang ditunggu tak kunjung datang.

Ah, menaruh kunci di lemari piala sepertinya ide bagus.

Baru saja Aini beranjak dari sofa itu dari arah bawah terdengar langkah kaki menaiki tangga, dan…

Have you locked the door?”

Oh, yeah, I’ve. Here you are”, terbata Aini menjawabnya sambil menyerahkan kunci itu pada si teman tadi, bukan terbata karena tidak dapat berbahasa inggris, tapi terbata karena kaget dan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan, dengan teman itu.

Okay, wait a minute, please. I’ll take my belongings first.” Si teman meraih kunci itu dan bergegas masuk kantor dan menata barangnya untuk bersiap pulang, bukan ke rumah, tapi ke asrama sekolah di mana para guru, seperti mereka tinggal.

 

Lima menit berselang.

I’ve done n locked the door again. Here is the key. Thanks Ms. Aini.”, kata Si Teman sembari mengembalikan kunci tadi dan pergi pulang, “See you later Madam and have a nice day. Assalamu’alaikum”.

Yep, you too. Wa’alaikumsalam.”, Aini membalas sambil melangkah menuruni tangga mengikuti Si Teman. Banyak rasa berkecamuk ia rasakan. Kecamuk rasa yang sudah lama tidak ia ingat, kecamuk rasa yang telah sempat hilang darinya bertahun-tahun lalu. Kecamuk rasa yang terkadang bisa membuatya tersenyum malu, tertawa dan berjingkrak bahagia juga termenung dan menangis sedih.

Sebuah interaksi sederhana itu telah membawa senyum baru padanya, senyum baru yang lama tak tampak menghiasi wajahnya, senyum baru penuh makna. Akankah itu benar atau kembali membawa luka?

Masih subuh saat Nono, hp nokia jdul Aini berderit. Tit tit… sms masuk.

Bu, apa kabar? Tolong nanti datang lebih pagi bisa ga Bu? Saya ada keperluan pagi di kantor tapi ndak punya kunci. Trims.

Insyaalloh.

Yes, thanks Bu. See you there.

Don’t mention it. See you.

 

Maka pagi itu pun Aini segera beranjak, bangun dan mandi. Padahal itu hari Sabtu dan kegiatan di sekolah baru akan dimulai pukul sembilan pagi.

Tiba di sekolah ternyata Si Teman sudah menunggu dan lihatlah, dia membawa sesuatu. Apa ya? Hadiah buat Aini? Atau… ah, jangan berharap Aini.

“Assalamu’alaikum, sorry to keep you waiting.”, sapa Aini lirih, bukan karena lemah tapi karena ia kembali harus bergelut dengan kecamuk rasa yang sama, kecamuk rasa yang beberapa hari ini mengusiknya.

“Wa’alaikumsalam. It’s okay. I’ve just arrived. Do you bring the key?”

“Yeah, here it is.”, jawabnya sambil merogoh saku tas kerjanya dan melangkah ke pintu, segera mambuka dan memilih untuk segera masuk kantor guru putri, masih satu ruangan dengan kantor Si Teman tadi sebenarnya, hanya diberi sekat pemisah antara guru putra dan putri. Agar bisa lebih terjaga, kata pemilik sekolah.

Mereka pun memasuki kantor dalam diam. Kemudian asyik dengan dunia masing-masing, Aini dengan proyek RPP dan Si Teman dengan lap topnya, entah membuat apa. Tetapi sesungguhnya Aini masih bergelut dengan kecamuk rasanya, apalagi sekarang dirinya hanya berdua saja dengan Si Teman dalam satu kantor, meski terpisah sekat tetap saja kecamuk itu tak kunjung berhenti malah menguat. Merah muka Aini, bingung, tidak karuan.

“Assalamu’alaikum”

Wah, penyelamat datang. Untung ada satu guru yang datang, batin Aini.

“Wah, rajin banget Bro.”, sapa Si Pendatang baru riang.

“Gak juga Bro, tuh udah ada Miss Aini di mejanya.”, sahut Si Teman kalem.

Cool banget dan shaleh, rasa semakin gaduh, dan Aini butuh energi lebih ekstra untuk berusaha menenangkan kegaduhan itu, kegaduhan dalam hatinya.

“Eh, ada Miss Aini. How are you Miss?”, sapa Si Pendatang baru dengan aksen English medok khas nya.

Just fine Sir, thanks. And you?”, jawab Aini ramah sambil terus berusaha menenangkan kecamuk di hatinya.

“Wah, baik banget Miss Aini, hehe. Eh, Miss Aini udah breakfast belum nie? Aku ada nasi uduk tiga nih, mau gak?”, kata Si Pendatang Baru sambil menyodorkan sebungkus nasi uduk padanya.

“Loh, kok beli banyak banget tow Pak?”, jawab Aini.

“He eh. Tadi tinggal tiga porsi ya udah aku beli ajah semua, buat sama teman-teman. Baik bukan? Hehe.”, ujarnya sambil berlalu menuju ruang sebelah.

“Oh, okay. Thanks Pak. Berapa nieh?”

For free Miss Aini, halal, thayib dan semoga berkah haha.”

Jadilah Aini pagi itu sarapan dengan menu favoritnya yang semakin favorit karena gratis dan datang sendiri, nasi uduk dengan oseng kentang, mie dan telur ceplok. Entah dengan alasan apa tiba-tiba Si Pendatang baru membawakannya seporsi nasi uduk membuat Aini sedikit tenang, konsentrasinya kini berpindah dari kecamuk rasanya pada seporsi uduk nikmat itu, lezat.

Hari berlalu seperti biasa, penuh dengan kegiatan, mengajar, mengurus kegiatan OSIS dan sibuk dengan kelas XII Sosial dimana Aini menjadi wali kelasnya sekarang. Untuk beberapa saat Aini bisa sedikit lega karena terbebas dari kecamuk rasa itu. Ia jarang bertemu dengan Si Teman itu, ia juga terlalu sibuk dengan banyak agenda, terlalu sibuk untuk sekedar bernostalgia dengan kecamuk rasa itu, lagi.

Aini bersyukr sebenarnya dengan kesibukan-kesibukan itu, tapi terkadang hatinya tiba-tiba merasa rindu untuk kembali berkecamuk, padahal belum saatnya dan hati juga tahu itu tidak baik, tapi bagaimana lagi, hati juga ingin merasakan tersipu dan bahagia saat mata melihat Si Teman, rasanya, sangat sulit terungkap, hati jadi malu.

Kecamuk-kecamuk rasa itu sebenarnya pernah ia rasakan, indahnya, dulu. Dulu sekali Aini pernah merasakannya, tersipu malu dan bahagia saat mata melihat sosok itu datang ke rumahnya, datang saja atau datang dengan martabak telor nikmat dan rencana makan malam bersama di warung lesehan dekat alun-alun atau makan malam bersama keluarga Aini dan keluarga Si Sosok bergantian sebulan sekali. Rutinitas itu, meski tidak setiap minggu dijalani tapi sangat berbekas, terpatri dalam sanubari Aini. Pun saat ibundanya dan ibunda Si Sosok duduk mendampinginya sesaat setelah prosesi itu terjadi, sesaat setelah ibunda Si Sosok memasangkan cincin sederhana di jari mAinis kiri Aini dan mengalungkan kalung emas berliontin AF, inisial namanya dan nama Si Sosok, indah dan syahdu sekali kala itu. Keindahan dengan harapan-harapan baru yang muncul dan tersusun rapi dalam memori. Namun sayang, keindahan itu begitu singkat ia rasakan. Rumit. Segala yang terjadi setelah itu adalah rumit. Entah mengap, beberpa bulan setelah itu Si Sosok kehilangan pekerjaannya dan menganggur. Cobaan tidak hanya itu saja. Aini, yang saat itu masih duduk di semester 7 dan berrencana mengejar skripsi agar bisa lulus tiga setengah tahun tiba-tiba merasa tertantang untuk memperbaiki beberapa nilai-nilainya yang ia anggap kurang dan itu menyakitkan Si Sosok. Entah mengapa, Si Sosok yang biasanya selalu mendukung Aini untuk terus melakukan yang terbaik dan menghiasi transkrip nilainya dengan rangkaian huruf A dan AB itu menentang niat Aini, menentang keras bahkan. Meski tidak dengan ucapan. Si Sosok tiba-tiba menjauh dan semakin menjauhi Aini tanpa penjelasan. Aini yang ketika itu tengah sibuk dengan usaha perbaikan nilainya dan detik-detik akhir maha karyanya untuk gelar S. Pd. nya tidak sempat terlalu peduli dengan hal itu. Bukannya itu sudah biasa, dulu saat Si Sosok sibuk dengan pekerjaanya pun mereka terbiasa untuk tidak terlalu sering berkomunikasi? Tapi ternyata apa yang Aini piker itu salah. Salah besar malah. Kesibukan Aini dianggap sebagai suatu pengacuhan dan ketidak pekaan Aini pada Si Sosok. Juga sebagai gambaran ketidakseriusan Aini atas komitmen yang mereka bina. Maka, tiga bulan sesudah keputusan perbaikan nilai itu dan tepat satu minggu sebelum siding besarnya atas maha karyanya untuk mendapat ijazah itu Aini harus menerima kenyataan pahit. Kenyataan pahit yang terus membekas hingga bertahun-tahun, sulit menghapusnya dan mengisinya dengan tulisan baru, sangat sulit. Si Sosok memutuskan untuk mengakhiri semuanya, komitmen mereka, memutuskan untuk membatalkan saja apa- apa yang telah mereka rencanakan, tiba-tiba, tanpa penjelasan. Selesai begitu saja.

“Kalung dan cincin yang telah diberikan pakai saja, itu kan sudah jadi hak milik Aini.”, ujar Si Sosok saat itu. Semua berakhir dan tak pernah ada penjelasan lebih lanjut setelah itu. Berakhir begitu saja. Aini shock, jatuh, merasa terhina dan limbung saat itu. Beruntung ia segera sadar dengan ujian skripsi yang sudah di depan mata dan dengan itulah ia melampiaskan sedih dan porak porandanya hati. Kembali berkutat dengan persiapan ujian dan berjuang sekuat tenaga untuk nilai A pada skripsinya. Berhasil. Aini berhasil saat itu. Nilai A dengan lancar mendarat di landasan skripsi pada transkrip nilainya. Bahagia, meski kebahagiaan itu kurang sempurna karena hanya ia rasakan sendiri. Orang tuanya? Bahagia dan bangga tanpa mereka tahu bahwa pondasi kapal bakal putrinya dan Si Sosok berlayar kini telah porak poranda, tinggal puing. Aini memilih untuk merahasiakan semuanya dulu dari mereka, dmei kebaikan bersama. Segalanya berlalu dan berlalu begitu saja. Aini tetap saja tak kuasa menceritakan segalanya pada orang tuanya, permatanya yang sangat ia muliaka. Aini takut, takut membuat mereka sedih. Maka, hingga kini pun tak pernah Aini bercerita, berusaha sudah, tapi tetap saja tak mampu.

“Ah, mengapa harus mengingat luka itu?”, ujar Aini pada dirinya sendiri. Segera ia beranjak dari kursinya. Aini mengayunkan langkahnya menuju masjid sekolah. Kemarin Ustadz Hakim menghubunginya via telepon dan memintanya untuk datang ke masjid. Ada sesuatu yang ingin dibicarakan, penting, pesan Ustadz via telepon. Aini berusaha menebak-nebak. Mungkin tentang siswa asuhnya, atau tentang kegiatan Ramadhan OSIS yang kemarin proposalnya ia ajukan pada kepala sekolah yang kebetulan sebagian besar lokasi kegiatannya bakal menempati masjid sekolah, tempat dimana Ustadz Hakim bertugas, menjadi ketua Dewan Kepengurusan Masjid Sekolah tempat Aini mengajar saat ini.

Kurang lebih sepuluh menit setelah ia beranjak dari kantor Si teman datang ke kantor dan melihat sekilas kursi Aini, yang kebetulan berada di pojok ruangan dan bisa dilihat jelas dari pintu masuk, sudah kosong.

Segera Si Teman mengetik sesuatu pada ponselnya.

Assalamu’alaikum Pak Ustadz, dia sudah pergi. Mohon bantuannya ya Pak. Saya tulus dan mantap dengan niat saya ini. Syukron ya Ustadzi.

Klik send.

Delivered.

“Alhamdulillah. Bismillah…tolong hamba ya Rabb.”, ujar Si Teman lirih bermaksud menguatkan hati, menguatkan dirinya.

Aini yang saat itu sudah tiba di masjid segera menuju ruang DKM. Ustadz Hakim yang sudah menunggunya segera mempersilakan Aini masuk ketika Aini baru saja mengucapkan salam.

“Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam Aini. Ayo silakan masuk. Nah, tolong tunggu sebentar ya.”

“Iya Ustadz, syukron.”

Aini berusaha mengira-ira apa yang akan Ustadz Hakim bicarakan dengannya. Tetapi masih saja belum pasti.

“Aini, sebelumya terimakasih sudah memenuhi undangan Bapak dan maaf Bapak sudah menyita waktumu.”, Pak Ustadz membuka percakapan.

“Tidak apa-apa Pak Ustadz. Kebetulan Aini juga tidak ada jam ngajar kok. Kalau boleh tahu, sebenarnya ada apa ya Pak? Apa siswa asuh saya ada yang membuat gaduh lagi di masjid atau persoalan OSIS yang mau menggunakan masjid ini atau apa ya Pak?”, sahut Aini takzim. Aini sungguh sangat menghormati Ustadz Hakim, guru yang sangat shalih, santun dan sederhana. Kepada almarhum istrinya lah dulu Aini belajar mengaji, mengeje huruf hijaiyah dalam Iqro’ dan Al-Qur’an dari terbata hingga lancar seperti sekarang, meski tetap harus diulang agar tetap bai da terjaga.

“Kamu, siswa saja yang diurusi. Kapan Aini mengurus diri Aini sendiri?,” jawab Pak Ustadz sambil tersenyum dan melangkah mengambil sebuah map di atas rak.

“Oh, tidak Pak. Hal itu memang sudah seharusnya.”, jawab Aini tetap dengan takzimnya.

“Bapak tidak akan membicarakan soal siswa atau OSIS kok An. Ini tentang Aini.”, jawabnya sambil memberikan sebuah map, sepertinya isinya sebuah file, “Ini, Bapak bermaksud menyerahkan titpan ini pada Aini. Kemarin ada seseorang yang menitipkan ini pada Bapak untuk diserahkan pada Aini. Orang itu berharap Aini bisa segera memberi jawaban.”, tambahnya. “Ayo, silakan dibuka, dilihat namanya dulu dan mintalah petunjuk pada Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Memberi Petunjuk.”, pesannya.

Aini, dengan berdebar dan hati yang bergemuruh bahkan lebih keras dari gemuruh pada saat ia berpapasan dengan sosok Si Teman, sangat tidak karuan. Sebuah map? Sebuah proposal, proposal pengajuan diri untuk menjadi separuh jiwa Aini, untuk menemAini Aini mengeja tulisan hidupnya di setiap denyut nadi dan desah nafas Aini, untuk menjadi imam saat Aini shalat, untuk menjadi pendengar saat Aini bertilawah, untuk menjadi pemapah saat Aini membutuhkan pundak dan dukungan. Sebuah proposal penawaran posisi terbaik dalam relung hati seseorang, untuk menduduki posisi penguat bagi si pengaju proposal, proposal permintaan untuk mengisi separuh jiwa dari si pemohon, agar lengkap jiwanya, agar khusy’ shalat dan ibadahnya agar tenteram batin dan penuh keberkahan hidunya. Karena bagi si pemohon, separuh jiwanya perlu diisi intan yang shalihah dan santuk seperti Aini agar bisa santunlah ia, agar bisa tenanglah jiwanya, mendapatkan separuh jiwa yang teduh, yang senantiasa mengingat pada Sang Maha Pemberi Rahmat. Aini terdiam cukup lama, kaget dan tak mampu berkata apa-apa. Ia kaget. Orang itu, si penulis proposal itu. Apa ini nyata? Aini masih tidak percaya. Orang itu, orang itu adalah sosok itu, si Teman, sosok yang membuat hatinya selalu bergemuruh, bersuka cita saat melihat sosoknya. Orang itu? Benarkah orang itu?

“Iya Aini, Hanif lah yang menulis proposal itu, yang mengajukan proposal itu padamu. Hanif menitipkannya pada Bapak kemarin pagi dan Bapak pikir akan lebih baik apabila Bapak segera menyampaikannya padamu. Hanif, Aini, Hanif meminangmu untuk menjadi pendampingya, untuk membatunya menggenapkan separuh agamanya. Maukah kamu Nak?”, seolah mengetahui apa yang ada dalam fikiran Aini, “Tidak perlu terburu. Berdoalah, mintalah petunjuk Dzat Yang Maha Memberi Petunjuk terlebih dahulu. Insyaalloh Bapak bantu dengan doa, yang terbaik menurut Alloh Swt. untuk Aini dan Hanif dan kita semua. Hanif sudah mencari tahu banyak tentang Aini. Dia juga sudah tahu tentang kekurang beruntugan Aini tiga tahun yang lalu. Berdoalah Nak”, kata Ustadz Hakim menutup nasihatnya.

“Iya Bapak. Syukron Pak. Jazakallohu khairan katsiir. Insyaalloh Aini perlu istikharoh dulu Pak.”, jawabnya masih dengan takzimnya, semakin takzim malah.

“Iya, satu minggu cukupkah untuk mu Nak?”, jawab Ustadz Hakim.

“Insyaalloh Pak. Sesegera mugkin saya usahakan.”, jawab Aini, berusaha meyakinkan hatinya bahwa ini nyata, bukan mimpi seperti yang sering ia alami akhir-akhir ini.

“Ya sdah. Hanya itu yang hendak Bapak sampaikan. Semoga segera diberi petunjuk ya Nak.”

“Iya Ustadz, syukron Ustadz. Aini pamit Ustadz. Assalamu’alaikum.”, segera Aini pamit dan beranjak dari ruangan itu. Kali ini dengan mendekap map biru, proposal pernikahan dari Hanif.

“Bismillah.. Hamba mohon petunjuk-Mu ya Rabb.”, ujarnya lirih sambil beranjak kembali ke sekolah, kembali mengajar.

Sudah saya sampaikan. Tunggulah satu minggu lagi dan teruslah berdoa mohon petunjuk. Insyalloh niat baik akan senantiasa diberi pertolongan dan kemudahan. Semoga. Aamiin.

 

Hanif membaca sms itu dan bertahmid, menghaturkan syukur yang tak terkira pada Alloh Swt., Dzat Yang Maha Berkuasa.

“Bismillah…”, bisiknya.

Hati Hanif berdegup saat sosok santun dengna jilbab hijau dan gamis hijau itu mengucapkan salam dan memasuki ruangan itu, kantor mereka.

“Ya Alloh, mohon ridlailah dan tolong permudahkanlah langkah hamba”, doanya dalam hati.

Aini duduk di kursinya dan memutuskan untuk memasukkan map itu kedalam tasnya. Insyaalloh ia mantap, tapi tetap istikharoh harus ia lakukan.

“Bismillah…” bisiknya lirih namun khusyu’ pada hatinya yang kini kembali berdesir. Ia kini ada dalm satu ruangan dengan orang yang baru saja meminangnya dan ia juga sebenarnya berharap untuk itu.

Enam hari berselang setelah percakapan di masjid antara dirinya dengan Ustadz Hakim. Esok ia harus memberikan jawaban atas pinangan itu. Esok hari. Wahai hati, tunggulah hingga esok hari, insyaalloh cerita baru akan segera tertulis.

Hari ketujuh tepat jam sembilan pagi, sama seperti saat Ustadz Hakim memintanya datang ke masjid, Aini segera mengirimkan jawaban itu via sms, ke Ustadz Hakim.

Assalamu’alaikum Ustadz. Bismillah, insyaalloh Aini siap menerima Hanif menjadi imam Aini. Mohon doa dan bimbingannya Pak Ustadz. Syukron.

Send, klik.

Delivered.

Segera bersujudlah Ustadz Hakim saat membaca pesan itu dan segera ia tunjukkan pesan itu pada Hanif yang dari pagi sudah setia menunggu jawabna itu, duduk dengan gusar, di sebelah Ustadz Hakim dan kini keduanya bersujud dengan khusyu’, bersyukur dan memohon perlindungan, ridla dan rahmat Alloh Swt., Dzat Yang Maha Menentukan segalanya. Dzat yang telah menentukan awal cerita baru bagi dua insan yang khusyu’ memohon dan berdzikir pada-Nya, dua insan yang sedang mencoba mengeja huruf demi huruf cerita mereka, sebuah cerita baru akan segera mereka eja, insyaalloh.

JJJ

 

*Untuk teman-teman yang baru menikah, semoga Rahmat, Ridla dan bimbingan Alloh Swt senantiasa mengiringi langkah kalian dalam mengeja babak baru, cerita baru kehidupan kalian. Barokallohulakum wabaraokallohu ‘alaikum wajama’a bainakuma fil khair. Aamiin.

Parungkuda, 23 Juli 2011-20.38

poem

biarlah

Mereka hanya melihat

Tanpa mengerti

Mereka melihat

Tapi tidak memahami, tidak mau

Atau tidak mau tahu?

Mereka berkata, berkomentar

Tapi mereka tidak mau menanyakan dulu,

Mengapa kami bersikap seperti itu?

Mereka mengomentari, mencaci dan cemoohan

Atas apa yang kami laku

Tanpa tanya

Lantas,

Apa kami harus membalas dengan cacian, lagi?

Dan kami pasti akan dicap tidak tahu diri

Ataukah kami harus terdiam saja, tanpa penjelasan?

Dan kami akan dicap robot pekerja yang tidak kritis

Ah,

Mereka memang mereka

Para penonton setia

Drama hidup kami

Dan kami,

Tetaplah dianggap pelaku setia drama

Tanpa kata pembelaan

Tanpa mampu berteriak melindungi diri kami

 

 

Untuk mereka,

Parungkuda, 19 june 2011-6.05 a.m.