poem

itu

kami melihat,

kami mendengar,

kami ada bersama mereka

saat mereka terjaga dari tidur mereka

kami melihatnya

bahkan kami lah yang membantu mereka untuk terjaga

dari mimpi-mimpi mereka

tapi tetap bukanlah kami yang berhak atas mereka

kami, kami menerima sanksi saat mereka bersalah

saat mereka berulah, saat mereka tertawa

kami yang merasa dan kami yang harus bertanggung

sedangkan pemilik mereka sebenarnya, secara hokum

mengabaikan mereka

hanya ada dan bangga saat mereka tersenyum

tapi pergi dan menuntut saat mereka berualh

apakah begitu wujud tanggung jawab mereka?

Aku tak tahu dan belum bisa mengerti

Itu

 

Parungkuda, 22 June 2011, 08.09

poem

Harusnya

Mereka itu mutiara

Tapi masih dalam kerang

Mereka berkilau sudah, tapi baru sedikit

Mereka, sebenarnya putih, bening, bersih

Tapi sekarang masih coklat dan  bahkan bergores kelabu

Bersama kitalah mereka belajar tumbuh dan membersihkan diri, harusnya

Bersama kitalah mereka belajar menyinari diri dan sekeliling, harusnya

Bersama kitalah mereka nanti menjadi matang dan keluar dari kerang itu, harusnya…

 

X3, 15 June 2011- 8.49

poem

Daun Kecil

Daun itu Baru tumbuh,

Masih ranum,

Baru mau berkembang

Tapi,

Tak ada hujan datang

Tak ada pupuk mengembangkan

Tangan jahil segera saja tertarik

Memetik si kecil yang baru ranum

Tanpa peduli

Bukan keseluruhan

Tapi separuhnya saja

Dan separuhnya tertinggal sendiri,

melayu

Pilu

 

Parungkuda, 21 June 2011

short stories

Entah Kapan

Aku tidak tahu mengapa makin lama aku semakin ragu dengan keputusanku dulu. Keputusan  untuk berkomitmen dengan dia, Ian, satu-satunya cowok yang pernah dan sekarang masih menjabat sebagai kekasihku. Aku ragu dan semakin merasa aku sangat tidak cocok untuknya. Dia yang cerdas, memiliki banyak teman, santun dan ganteng bersandingkan dengan aku, anak biasa dari kampung dengan tinggi badan rata-rata bawah, kulit gelap, muka tanpa make-up, kemampuan akademis biasa saja, dan dari kampong pula. Semakin lama aku semakin merasa jauh untuknya. Entahlah…

Ketika teman-teman untuk pertama kalinya melihat dia datang ke kosan, semua, termasuk aku mengira dia datang hanya untuk main biasa, saling mengunjungi kosan teman, begitu. Tetapi ternyata itu salah. Aku yang belum pernah mengenal apa itu cinta, apa itu pacar, merasa biasa saja bahkan ketika dia datang untuk kesekian kalinya dengan martabak telur seperti biasa, dua porsi besar, satu untuk teman-teman kosanku dan satu untuk kita berdua, meski ujung-ujungnya yang makan anak kosan juga karena kita memang kurang suka haha.

Kunjungan pertama, biasa. Kunjungan kedua, biasa juga. Kunjungan ketiga, terjadilah sesuatu yang sangat luar biasa. Seumur hidupku baru pertama aku mendengar ada seorang cowok yang itu bukan kakak atau adikku berkata, “Syifa, kamu baik. Boleh tidak aku menjadi orang yang selalu ada untuk Syifa setiap Syifa butuh teman, yang selalu mendukung Syifa, orang yang ada dalam duka dan suka Syifa? Maukah Syifa ada dan mendampingi Ian dalam sedih dan senyum Ian?” Beberapa kalimat yang dia lontarkan dengan senyum dan pandangan yakin, tanpa bunga, tanpa genggaman hangat tangan, hanya kata yang kau ucapkan. Lantas dengan polosnya aku hanya terdiam, tanpa kata iya untuk mengiyakan ataupun gelengan kepala tanda menolak. Aku hanya mampu terdiam dan diamku itu ternyata berarti ia, baginya, bagiku, bagi kita dan juga bagi yang lainnya. Resmilah kemudian, a new couple is coming, Ian Si aktif dan santun dan Syifa Si gadis biasa saja.

Trisemester pertama semua berlangsung normal dan dalam kategori hubungan yang berhasil baik. Aku dan dia, ada berdua saling mendukung dalam kebersamaan kami yang bisa dihitung dengan jari. Dia tetap tersenyum setiap kali bertemu, meski tidak lantas menghampiri atau mengajak jalan bersama, senyum dukungan. Ya, memang aku dan dia jarang sekali bersama di depan orang lain, selain penghuni kosanku tentunya. Bukan mau backstreet, tapi aku yang selalu menghindar untuk bersama dengannya di depan anak-anak. Aku masih ragu dan tentu kurang pede berada di sampingnya. Maka aku mau dia duduk di sampingku hanya ketika kita di kosan atau ketika kita berada di tempat rahasia kita, taman wisata di kawasan Gunung Ungaran, tempat dia asyik berenang dan aku pun asyik duduk di tangga-tangga di sekitar kolam, dengan netbook ku, menungguinya berenang setelah menikmati sarapan pagi, nasi, sayur kangkung dan tempe goreng, menu kesukaannya hasil masakanku. Selalu seperti itu setiap akhir pekan, dan acara akan dilanjutkan dengan makan sian bersama, ayam bakar dan telur asin, menu favoritnya yang kemudian aku pun mulai menyukai menu itu.

Entah mengapa, aku hanya bisa diam dalam apa yang aku alami sekarang. Mengiyakan tidak, menolak juga tidak. Aku baru sadar kalau ternyata aku juga menyayanginya tepat satu minggu sebelum insiden itu terjadi. Penolakan pertamaku untuk menemaninya berkemah dan mendaki Gunung Gede Pangrango. Aku sudah mengiyakan sebenarnya, tetapi aku harus menolaknya kemudian. Yah, aku tak mampu kalau harus melihatnya ditertawakan teman-temannya hanya karena ia berada di sana bersandingkan diriku, gadis biasa bukan bersandingkan dengan Tara atau Santi, dua dari teman sekelasnya yang luar biasa, plus dalam akademis juga plus dalam publisitas. Penolakan yang aku tahu sangat menyakitkan baginya. Tapi aku sungguh tak sanggup. Aku tidak berani. Aku takut dia ditertawakan oleh teman-temannya. Aku takut dia malu. Aku takut menjadi benalu baginya. Aku tidak mau. Aku takut melihat gurat kesedihan di wajahnya yang bersih, meski kini aku telah menggambar sendiri guratan sedih itu, meski baru satu guratan tapi mungkin akan berlanjut dengan guratan-guratan kesedihan berikutnya. Aku sudah memutuskan. Ya, aku akan pergi dari sisinya, entah sementara atau selamanya. Liburan ini dan dilanjutkan dengan bulan-bulan setelah liburan ini aku akan pergi. Menjauh darinya. Aku tidak akan tinggal di kos ku lagi, meski statusku masih anak kos itu. Aku akan tinggal di kota lain sambil menyelesaikan skripsiku. Aku akan datang ke kampus hanya untuk bimbingan atau melengkapi buku-buku referensiku dan itu hanya dua kali dalam seminggu, Rabu dan Jumat, hari dimana dia sibuk dengan teman-teman Pecinta Alam dan SARnya. Kebetulan aku diterima mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar di kota lain dan mereka memperkenankanku bekerja di sana sambil menyusun skripsiku.

Aku memilih jalan ini untuk menghindarinya, entah sementara atau selamanya. Entahlah. Setidaknya aku tidak akan melihat dia ditertawakan teman-temannya karena ada bersamaku dan aku tidak perlu repot mencari alasan untuk menolak tampil bersamanya di muka teman-temannya. Aku masih belum yakin aku  mampu ada bersamanya. Aku masih belum yakin aku pantas untuknya. Maafkan aku untuk guratan-guratan kesedihan yang aku gambar di wajahmu, Ian. Semoga kelak aku bisa merasa yakin berdiri di sampingmu, entah kapan.

 

 

Maaf untuk guratan itu, Kawan.

                                                                        Rumah damai, 1 July 2011- 20.20

poem

Bukan Perlu, tapi Harus

Pintu itu baru terbuka, sedikit

Dan segalanya begitu mengagetkan

Ternyata begini,

Tiap titik di ruangan ini bermakna

Karena semua tersusun dengan rasa, dengan kerja, tidak begitu saja muncul

Tidak begitu saja ada

Tidak begitu saja tersedia untuk dikaryakan

Semua, setiap titik detail dari bangunan itu amat bermakna

Dan aku,

Jika ingin kubangun ruanganku dengan maknaku

Aku, bukan berdiam seperti ini, tapi

Kaki ini tak boleh tidak melangkah

Tangan ini tak boleh tidak kotor,

Raga ini tak boleh tidak lelah

Jiwa ini tak boleh tidak terlatih

Rasa ini tak boleh tak teruji

Ruh ini, tak boleh sedikitpun kering

Dari tetes sejuk, peneduh hati

Diri ini, tak boleh tidak berpeluh,

Mata ini tak boleh tidak berair dan merah

Aku harus lelah untuk bisa sumringah

Aku harus berpeluh untuk bisa menjadi peneduh

Aku harus terseok untuk tidak menjadi rampok

Aku harus kotor untuk bisa menjadi motor

Bergerak, melaju

Perlu merasakan tercabik untuk bisa menyusun titik demi titik

Mengumpulkan dan menyusunnya menjadi ruang indah, punyaku

Tapi bukan hanya untuk aku

Untuk semua, ruang

Untuk bersama

Ruang untuk membagi dan menjadi bahagia

Ruang untuk membangun dan membagi senyum

Bukan perlu, tapi harus.

 

poem

Lewat Jendela Saja Aku Bahagia

Aku masih disini

Menatap mentari lewat jendela ini

Bukan mentari sebenarnya, hanya sinar-sinarnya

Lewat kaca jendela yang sama

Setiap harinya

Masih sama

Semburatnya masih sama

Cerah, memberi sedikit semangat pada jiwa ini

Memberi sedikit harap pada hati

Ingin aku merasakannya

Hangat mentari pagi

Di jalanan, menuju sekolah

Sama dengan mereka

Gadis muda berseragam

Tapi aku cukup bahagia melihat mereka

Hanya melihat mereka saja

Dan selamanya

Takkan bisa merasakan hangat mentari menyentuh tubuh ini

Hanya menikmatinya lewat jendela saja, hanya lewat jendela

Tapi aku bahagia

poem

Sapa Pada Seorang Kawan

Kawan, apa kabar mu disana?

Kawan, lama sekali kita tidak saling sapa

Kawan, apakah disana engkau masih mengingat kisah itu?

Kawan, aku ada di sini sekarang.

Duduk di lantai pinggiran kolam renang ini

Bermain air dengan kakiku

Kawan, ingin aku mencebur dan merendamkan diriku di kolam ini

Tapi, aku menahannya kawan

Aku, masih saja belum mampu melanggar laranganmu

Untuk berenang di kolam terbuka ini

“Nanti saja kalau punya rumah bikin kolam renang dan berenanglah di situ.” katamu dulu

Dan sekarang pun aku hanya mampu sampai titik ini

Bermain air dengan kakiku di pinggiran kola mini

Kawan, masihkah kau ingat itu?

Kau berenang saat itu dan bermain air

Kau basahi kaki dan badanku dengan air itu

Kita bermain air, kau di kolam dan aku hanya di pinggirnya

Kawan, ingin sekali aku bercerita

Aku sudah bisa berenang sekarang

Aku sudah berani

Aku punya kolam renang sendiri sekarang, di samping rumah mungil kami

Tapi aku masih tetap tidak berani menceburkan diriku ke kolam ini

Aku, masih saja belum bisa melanggar larangan-larangan mu

Kawan, tahukan kamu?

Apa kabarmu di sana kawan?

Kamar rumah mungil, 12 June 2011-11:11

poem

Aku tapi Tidak Jiwaku

Duduk di sini, berteman embuh

Beberapa pohon kelapa mulai tumbuh di depanku,

Gazebo dengan keramik yang mulai naik turun

Bunga terompet kuning bermekaran,

Agak jauh kebelakang ada lagi, bunga putih dengan semerbak harumnya

Di atas bangku panjang, sangat serasi

Tapi aku tak merasakan apa-apa

Hanya dingin

Tidak ada senyum terkembang

Hanya dingin

Tidak ada tawa lagi

Hanya sepi Aku, di sini

Tanpa siapa-siapa

Orang tuaku?

Mereka membuangku ke sini

“Tempat yang baik untuk kamu memperbaiki diri, Cantik”, kata Ayah saat mereka pertama mencetuskan niat untuk membawaku ke tempat ini

Dan mereka pun berjanji akan rajin mengunjungiku tiap pekan untuk melepas rindu

Satu, dua pekan, iYA mereka menjengukku, tapi

Sekarang bahkan sudah hampirdua tahun aku berdiam di sini

Mereka tak jua menjengukku

Saat teman-temanku sangat menanti datangnya liburan, aku malah ingin sekolah tak usahlah ada libur

Toh sama saja

saat teman-temanku pulang dengan keluarga mereka

Apa aku pulang? Iya pulang

Tapi dijemput Pak Amat, sopir keluarga kami

saat teman-teman bercengkerama di rumah dengan keluarga mereka

Apa aku di rumah? Iya di rumah

Tapi sendiri berteman bibi dan sopir kami

Lantas, siapa aku ini?

Yatim piatukan aku? Tidak.

Ayah bundaku masih hidup

Tapi aku yatim piatu dari kasih sayang mereka

Aku yatim piatu dari belai lembut tangan bunda Aku yatim piatu dari hangat rangkulan ayah

Aku yatim piatu dari hangatnya dekapan ayah bundaku

Lantas, untuk apa aku pulang?

Kalau yang kutemui hanya bangunan megah berikut perabot megah

Tanpa penghuni

Tanpa belaian kasih?

Tanpa suara-suara dongeng malam

Tanpa suara lembut bunda membangunkan ku

Untuk bangun pagi

Tidak seperti di sini

Aku sendiri, memang

Tapi ada mereka yang menemaniku

Meski sering tidak aku anggap

Tapi mereka ada

Membangunkanku saat fajar menyingsing

Menyelamatiku dan memelukku hangat saat raport terbaik kembali aku dapatkan

Melindungiku saat aku merasa pilu

Menyelimutiku saat aku kedinginan

Mendukungku saat aku jatuh

Mereka ada, selalu ada

Meski kadang aku tak menganggap mereka ada

Karena aku sendiri di sini

Dan mereka selalu ada

Aku tetaplah sendiri

Menikmati kabut pagi

Kadang aku bahagia bersama mereka

Kadang aku tersenyum bersama mereka

Kadang bahkan aku tertawa dan berjingkrak bersama mereka

Tapi itu ragaku

Cuma ragaku

Tidak jiwaku

Tidak inginku

Aku iri pada mereka

Aku iri pada peluk hangat orang tua mereka tiap libur datang

Aku ada bersama mereka

Tapi jiwaku tidak

 

Gazebo bawah, 12 Juni 2011- 7.02

poem

Tulisan pagi

Mentari pagi ini,

Hangat membelai kulit mungil pejuang jalanan kota ini

Embun pagi ini,

Sejuk,menyemangati gerak langkah kaki pejuang jalanan kota ini

Meneteskan sedikit energi tambahan untuk berjalan lebih dan lebih cepat

Tegap dan penuh tekad menyogsong ujung jalan menuju lading masing-masing

Siulan pagi burung-burung emprit di sawah-sawah yang membentang

Di kanan kiri jalann kota ini, menyemarakkan irama pagi

Klotak klotak sepatu kuda menarik delman berpenumpang perempuan-perempuan perkasa kota ini

Bersama berduyun membawa hasil panenan pagi ke pasar

Kring kring salam sapa para pengayuh sepeda di jalanan kota ini Hangat dan sangat menenteramkan

Satu dua angkutan desa lewat berisikan beberapa warga berseragam menuju kantor mereka rapi dan teratur

Tidak ada klakson-klakson atau pun umpatan sopir untuk saling mendahului

Jalanan kota kecil ini telah terbagi, kanan untuk mereka, kirinya ada delman dan sepeda, kirinya lagi

Ada trotoar untuk anak sekolah berjalan

Sangat tenteram Kota kecil ini, jalanan kota ini, semua berarti dan sangat berarti

Semua mengerti dan semua memahami

Akankah ini berlangsung lama? Aku harap iya

Akankah para pengayuh sepeda itu akan tetap saling menyapa? Aku harap iya

Akankah sopir-sopir itu akan tetap santun dan tidak salign serobot? Aku harap iya

Akankah delman itu akan tetap ada? Aku harap iya

Akankah kudengar lagi cicit-cicit burung emprit di sawah-sawah itu? Aku harap iya

Akankah ada lagi embun esok hari? Aku harap iya

Akankah ada lagi hangatnya mentari pagi? Aku harap iya

Tenteram teruslah tenteram

Perbedaan pasti ada, perubahan itu tak bisa tertolak

Tapi, tenteram Jagalah terus dalam hati

Untuk diri ini, untuk generasi setelah ini, dan generasi setelahnya dan setelahnya dan setelahnya lagi

Tenteram, teruslah…

Parungkuda, 11 Juni 2011- 8.14 a.m

short stories

Senyum Terakhir

Aku duduk terpaku dibawah gerimis. Aku masih disini… merenungi kata-kata Bapak via telfon tadi malam.

Nduk.. kowe anak Bapak siji-sijine. Kowe ora susah mikiri larane Bapak. Kowe sinauha sing mempeng yo ben ujiane bisa oleh biji apik. Ben Bapak karo almarhum Simbokmu bungah.

Inggih Pak. Dalem badhe sinau mempeng supados ujian angsal biji ingkang sae. Bapak ugi ampun kesayahan, ngaso supados enggal mantun.”, jawabku dengan menahan tangis.

Ini kedua kalinya Bapak masuk rumah sakit dalam satu tahun ini dan kali ini keluargaku pun harus menerima putusan dokter. Bapak harus dioperasi. .

Sudah sejak dua tahun yang lalu Bapak menderita penyakit ini. Penyakit yang sama yang telah mengantarkan simbok pada nafas terakhir beliau.

Dua tahun yang lalu.

Seluruh keluarga sedang sibuk menyambut kepulangan haji Pakde Sobri dan Budhe Sobri dari Makkah. Semua sibuk dengan tanggung jawab masing-masing. Bapak, adek tertua Pakde sebagai wakil keluarga sibuk mengurusi apa-apa yang kurang, mulai dari dapur untuk makanan para penyambut, para wakil keluarga yang hendak menyambut dan berpidato, mobil dan bus untuk menjemput Pakde dan Bude dari bandara Adi Sumarmo, kursi dan tarub yang saat itu juga sedang dipasang oleh para tetangga yang dengan suka rela membantu, bergotong royong menyambut kepulangan Pakde Sobri yang saat itu juga masih menjabat sebagai lurah Desa Pejagatan, tempat kami tinggal. Simbok saat itu bertanggung jawab mengurusi jajanan-jajanan untuk nyamikan yang akan dibawa sebagai bekal para penjemput ke Bandara nampak pucat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang menyadari kecuali Bulik Ratmi.

Mbakyu, wonten napa? Mbakyu katingal pucet sanget. Napa Mbakyu gerah? Sampun, Mbakyu ngaso rumiyen kemawon….

Ora papa kok Rat…. Mung sirahku nggliyeng karo wetengku lara banget mlilit-mlilit.”

“Astaghfirulloh.. sampun, Mbakyu ngaso kemawon. Mriki Rratmi mawon ingkang nyepaki nyamikan..”, ujar Bulik Ratmi.

“Yow is Rat. Aku tak ngaso ndhosit. Iki kurang sejinah  maneh. Kabehe butuh selawe.”, sahut Simbok sambil mencoba berdiri dan tib-tiba simbok roboh tak sadarkan diri.

Mbakyu.. Mbakyu….Toloong..

Mendadak suasana menjadi gaduh dan kesibukan pun bertambah. Bapak yang saat itu sedang mengurusi tarub segera berlari dan membopong Simbok, membawanya ke kamar dan membaringkan Simbok. Para kerabat dan saudara yang lain pun gaduh dan sibuk. Kesibukan terbagi. Dan Simbok pun terpaksa dibawa ke Puskesmas Kecamatan karena belum juga sadar diri. Vonis memilukan itu pun disampaikan oleh Dokter Budi, Kepala Puskesmas setempat.

Pripun Pak Dokter? Garwa kula sakit punapa Pak?”, tergopoh-gopoh Bapak menemui Pak Dokter Budi ketika pintu ruang UGD Puskesmas terbuka.

“Mohon maaf Pak. Mari kita bicara di ruang saya Pak.”, jawab Pak Budi sambil berjalan menuju ruang kecil bertuliskan Ruang Kepala. Bapak dengan tergopoh-gopoh dan penuh tanda tanya pun mengikutinya dari belakang.

“Silakan duduk Pak Rahmat.”

Inggih Pak Dokter.

“Begini Pak. Sebelumnya saya mau tanya Pak. Apakah istri Bapak sudah pernah pingsan untuk waktu yang lama sebelumnya?”

Dereng nate Pak. Garwa kula niku dereng nate semaput. Kula inggih boten mangertos Pak. Wau niku piyambakipun taksih ngracik-ngracik nyamikan terus semaput ngoten Pak. Pripun Pak? Garwa kula kenging napa Pak?

“Begini Pak. Dari hasil pemeriksaan sementara sepertinya istri Bapak mengidap penyakit tertentu Pak. Olehkarenanya kami bermaksud melakukan uji laboratorium untuk mengetahui apa penyakitnya. Bagaimana Pak? Apakah Bapak berkenan?”

Kawula ndherek mawon punapa dhawuhipun Bapak dokter. Kawula saestu namung kepengen estri kawula waras malih Pak.

“Iya Pak. Kami juga berharap demikian. Kami akan berusaha sebaik-baiknya Pak. Bapak terus bersoa saja agar istri Bapak bisa kembali pulih Pak.”

Inggih Pak.

“Ya sudah Pak kalau begitu. Sekarang Bapak istirahat saja sekaligus mengurus administrasi rumah sakit. Untuk sementara saudara atau Bapak menunggu dari luar dulu saja. Kalau mau menjenguk Ibu satu persatu dan jangan lupa menggunakan baju steril ya.”

Inggih Pak Dokter. Matur nuwun sanget Pak.”, ujar Bapak sambil menjabat tangan Pak Dokter Budi sebelum keluar dari ruang kecil bercat putih itu.

Di luar ruang UGD, Paklik Joyo, suami Bulik Ratmi dan beberapa tetangga yang tadi ikut membantu Bapak membawa Ibu ke rumah sakit masih menunggu dengan harap-harap cemas. Mereka segera menyongsong Bapak seketika Bapak keluar dari raung dokter kepala rumah sakit tersebut.

Pripun Kang Rohmat. Mbakyu pripun? Gerah napa? Pak Dokter ngendika napa Kang?”, Paklik Joyo memberondong Bapak dengan pertanyaan-pertanyaan pertanda kekhawatiran mereka semua.

Sekedhap to dimas Joyo. Pak Rohmad bene lungguh rumiyen. Ora musah padha grusa-grusu ngana.”, Pak Wicak, carik desaku mencoba menenangkan suasana dan menuntun Bapak untuk duduk.

Dhimas Rohmat ngunjuk rumiyen.”, ujar Pak Wicak sambil menyodorkan segelas air mineral kepada Bapak.

Maturnuwun Kang Wicak.”, dan Bapak pun menyedot air dalam gelas tersebut, sedikit hanya untuk menenangkan hati sebentar.

Kangmas Wicak. Aku ora bisa ndherek methuk Kangmas ning Solo. Aku kudu njagani bojoku. Pak dhokter wau ngendika yen Rahmi kudu dites Lab.”, kata Bapak.

Yow is ora papa Dimas. Mengko aku karo tangga-tangga sing methuk ning Sala. Sampeyane njagani Rahmi wae.Mengko ben dikancani karo Joyo lan Jiman. Aku karo tanga-tangga methuk kangmas mu dhisik. Mesake yen ora ana sing methuk, gawane akeh.”, Kata Pakdhe Wicak sambil menginstruksikan Paklik Joyo dna Pak Jiman untuk menemani Bapak.

Inggih Kangmas. Matur nuwun sanget nggih Kang..

Ya mpun nek ngana. Ayo dhaftar ndhisit ning kantor bene Rahmi enggal-enggal dirawat.

Manggah Kang.

Bapak dengan ditemani Pakdhe Wicak pun segera berlalu menuju ruang pendaftaran pasien di bagian depan puskesmas tersebut.

Keesokan harinya darah Simbok diambil dan dilakukan uji lab dan sore itu juga Pak Dokter Budi memberitahukan hasilnya pada Bapak. Bapak hanya mampu terdiam saat itu.

“Pak Rahmat. Mari tolong ke ruangan saya sebentar. Ada yang perlu kita bicarakan berkaitan dengan hasil uji Laboratorium mengenai kondisi Ibu.”, kata Pak Budi saat beliau melewati ruang UGD dimana Bapak duduk menunggu Simbok dengan mata berkaca-kaca penuh kepasrahan.

Inggih Pak Dokter.”, dan Bapak pun mengikutinya dibelakang, selalu dibelakang Pak dokter.

“Mari Pak, silakan duduk.”

Inggih Pak dokter.

“Begini Pak. Hasil uji Lab sudah ada dan menurut hasil uji Lab tersebut, kemungkinan ada miom di rahim istri Bapak.”

Miom niku napa nggih Pak? Kawula boten mudheng Pak.

“Miom itu seperti daging tumbuh Pak. Tapi tumbuhnya itu ditempat yang tidak seharusnya, jadi agar pasien kembali sembuh harus dioperasi.”

Oh.. lha bojo kula ugi kedah dipunoperasi Pak?

“Iya Pak Rahmat. Demi kesembuhan Ibu. Biaya operasi memang cukup mahal. Tetapi demi kesembuhan Ibu hal itu sebaiknya segera dilakukan Pak.”

Inggih Pak.

“Ya sudah Pak. Kalau Bapak setuju, operasi akan kami lakukan besok Pak.”

Inggih pak dokter.

“Baiklah. Kalau begitu Bapak tolong tanda tangani dulu surat persetujuan operasi ini ya Pak.”

Inggih Pak Dokter.

Dan keesokan harinya pun simbok dioperasi. Namun untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Di ruang operasi itu akhirnya simbok menghembuskan nafas terakhir beliau setelah operasi selesai dan tangan beliau bergenggaman erat dengan bapak. Aku Cuma bisa terdiam saat itu. Terdiam menatap dan mengiringi jenazah simbok ke pemakama. Aku benar-benar tidak memiliki daya saat itu. Terlalu kaget dan hanya bisa pasrah karena aku belum bisa apa-apa.

Dan kini kejadian yang sama hampir terulang. Bapak, satu-satunya penyemangat ku pun sakit dan dirawat di rumah sakit yang sama. Dan aku pun tidak bisa untuk menunggui beliau karena ujian terbesar sepanjang kuliah ku akan dilaksanakan pada esok hari, tepat saat bapak akan memasuki ruang operasi….

Jakarta, 3 Agustus 2010

Hari ini aku ujian skripsi. Berangkat dengan pikiran yang masih tertuju pada bapak. Hanya pada bapak. Bahkan semalaman pun aku tidak mampu membuka buku atau sekedar mereview hipotesis dan kesimpulan yang telah aku susun. Aku hanya ingin segera selesai ujian dan terus pulang ke rumah, menunggui bapak dirumah sakit.

Setelah satu jam dalam ruang 3×5 meter itu, setelah berdebat cukup lama dengan para penguji aku pun dipersilakan keluar dan melihat hasil ujian 1 jam kemudian.

“Saudari Syifaturrohmah. Silakan masuk.”, kata Prof. Soekamto, kepala pengujiku sekaligus membuka pintu mempersilakanku masuk.

“Selamat ya. Anda lulus dengan nilai akkumulasi 89. Selamat berjuang untuk mengabdikan dan mengamalkan ilmu Anda. Terimakasih.”, ucap beliau sekaligus menyalamiku.

“Terimakasih Pak.”,jawabku.

Girang berjingkrak aku keluar dari ruangan itu dan segera aku bereskan berkas-berkas skripsiku dan meluncur menuju kosan. Hari ini juga aku akan pulang. Naik bus ke Purwokerto dan akan melanjut dengan bus ke Kebumen. Hari ini.

Kebumen, 14 Agustus 2010.

Masih subuh saat itu. Aku segera memasuki halaman rumah sakit dan Paklik Joyo sudah menunggu didepan.

Syukurlah Nduk, kowe wis tekan. Bapakmu taksih pingsan ning ruangan. Mengko ngenteni jam 7 ya nembe entuk melbu. Saiki ngaso ndhisit. Hayuh ngeteh ndhisit.

Inggih Paklik.

Setelah tiga jam menunggu di luar akhirnya aku pun masuk. Bapak masih belum sadarkan diri dengan selang yang menempel dibadannya. Aku menyalami dan mencium tangan Bapak.

Pak, dalem sampun wangsul. Dalem sampun lulus Pak. Lulus kanthi piji 89. Dalem sampun dados sarjana, kados pasejanipun Bapak lan simbok Pak..

Garis lurus di monitor pembaca denyut jantung Bapak pun berganti menjadi garis lurus dan berbunyi tit…tit..tit…tit…

Bapak menghembuskan nafas terakhir Bapak tepat seusai pemberitahuan kelulusanku. Bapak, aku ikhlas. Semoga senyum Bapak merupakan ridla Bapak dan Alloh untuk langkah kedepanku..

Untuk teman-teman yang baru wisuda

Parungkuda, 5 Mei 2011.