Aku duduk terpaku dibawah gerimis. Aku masih disini… merenungi kata-kata Bapak via telfon tadi malam.
“Nduk.. kowe anak Bapak siji-sijine. Kowe ora susah mikiri larane Bapak. Kowe sinauha sing mempeng yo ben ujiane bisa oleh biji apik. Ben Bapak karo almarhum Simbokmu bungah.”
“ Inggih Pak. Dalem badhe sinau mempeng supados ujian angsal biji ingkang sae. Bapak ugi ampun kesayahan, ngaso supados enggal mantun.”, jawabku dengan menahan tangis.
Ini kedua kalinya Bapak masuk rumah sakit dalam satu tahun ini dan kali ini keluargaku pun harus menerima putusan dokter. Bapak harus dioperasi. .
Sudah sejak dua tahun yang lalu Bapak menderita penyakit ini. Penyakit yang sama yang telah mengantarkan simbok pada nafas terakhir beliau.
Dua tahun yang lalu.
Seluruh keluarga sedang sibuk menyambut kepulangan haji Pakde Sobri dan Budhe Sobri dari Makkah. Semua sibuk dengan tanggung jawab masing-masing. Bapak, adek tertua Pakde sebagai wakil keluarga sibuk mengurusi apa-apa yang kurang, mulai dari dapur untuk makanan para penyambut, para wakil keluarga yang hendak menyambut dan berpidato, mobil dan bus untuk menjemput Pakde dan Bude dari bandara Adi Sumarmo, kursi dan tarub yang saat itu juga sedang dipasang oleh para tetangga yang dengan suka rela membantu, bergotong royong menyambut kepulangan Pakde Sobri yang saat itu juga masih menjabat sebagai lurah Desa Pejagatan, tempat kami tinggal. Simbok saat itu bertanggung jawab mengurusi jajanan-jajanan untuk nyamikan yang akan dibawa sebagai bekal para penjemput ke Bandara nampak pucat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang menyadari kecuali Bulik Ratmi.
“Mbakyu, wonten napa? Mbakyu katingal pucet sanget. Napa Mbakyu gerah? Sampun, Mbakyu ngaso rumiyen kemawon….”
“Ora papa kok Rat…. Mung sirahku nggliyeng karo wetengku lara banget mlilit-mlilit.”
“Astaghfirulloh.. sampun, Mbakyu ngaso kemawon. Mriki Rratmi mawon ingkang nyepaki nyamikan..”, ujar Bulik Ratmi.
“Yow is Rat. Aku tak ngaso ndhosit. Iki kurang sejinah maneh. Kabehe butuh selawe.”, sahut Simbok sambil mencoba berdiri dan tib-tiba simbok roboh tak sadarkan diri.
“Mbakyu.. Mbakyu….Toloong..”
Mendadak suasana menjadi gaduh dan kesibukan pun bertambah. Bapak yang saat itu sedang mengurusi tarub segera berlari dan membopong Simbok, membawanya ke kamar dan membaringkan Simbok. Para kerabat dan saudara yang lain pun gaduh dan sibuk. Kesibukan terbagi. Dan Simbok pun terpaksa dibawa ke Puskesmas Kecamatan karena belum juga sadar diri. Vonis memilukan itu pun disampaikan oleh Dokter Budi, Kepala Puskesmas setempat.
“Pripun Pak Dokter? Garwa kula sakit punapa Pak?”, tergopoh-gopoh Bapak menemui Pak Dokter Budi ketika pintu ruang UGD Puskesmas terbuka.
“Mohon maaf Pak. Mari kita bicara di ruang saya Pak.”, jawab Pak Budi sambil berjalan menuju ruang kecil bertuliskan Ruang Kepala. Bapak dengan tergopoh-gopoh dan penuh tanda tanya pun mengikutinya dari belakang.
“Silakan duduk Pak Rahmat.”
“Inggih Pak Dokter.”
“Begini Pak. Sebelumnya saya mau tanya Pak. Apakah istri Bapak sudah pernah pingsan untuk waktu yang lama sebelumnya?”
“Dereng nate Pak. Garwa kula niku dereng nate semaput. Kula inggih boten mangertos Pak. Wau niku piyambakipun taksih ngracik-ngracik nyamikan terus semaput ngoten Pak. Pripun Pak? Garwa kula kenging napa Pak?”
“Begini Pak. Dari hasil pemeriksaan sementara sepertinya istri Bapak mengidap penyakit tertentu Pak. Olehkarenanya kami bermaksud melakukan uji laboratorium untuk mengetahui apa penyakitnya. Bagaimana Pak? Apakah Bapak berkenan?”
“Kawula ndherek mawon punapa dhawuhipun Bapak dokter. Kawula saestu namung kepengen estri kawula waras malih Pak.”
“Iya Pak. Kami juga berharap demikian. Kami akan berusaha sebaik-baiknya Pak. Bapak terus bersoa saja agar istri Bapak bisa kembali pulih Pak.”
“Inggih Pak.”
“Ya sudah Pak kalau begitu. Sekarang Bapak istirahat saja sekaligus mengurus administrasi rumah sakit. Untuk sementara saudara atau Bapak menunggu dari luar dulu saja. Kalau mau menjenguk Ibu satu persatu dan jangan lupa menggunakan baju steril ya.”
“Inggih Pak Dokter. Matur nuwun sanget Pak.”, ujar Bapak sambil menjabat tangan Pak Dokter Budi sebelum keluar dari ruang kecil bercat putih itu.
Di luar ruang UGD, Paklik Joyo, suami Bulik Ratmi dan beberapa tetangga yang tadi ikut membantu Bapak membawa Ibu ke rumah sakit masih menunggu dengan harap-harap cemas. Mereka segera menyongsong Bapak seketika Bapak keluar dari raung dokter kepala rumah sakit tersebut.
“Pripun Kang Rohmat. Mbakyu pripun? Gerah napa? Pak Dokter ngendika napa Kang?”, Paklik Joyo memberondong Bapak dengan pertanyaan-pertanyaan pertanda kekhawatiran mereka semua.
“Sekedhap to dimas Joyo. Pak Rohmad bene lungguh rumiyen. Ora musah padha grusa-grusu ngana.”, Pak Wicak, carik desaku mencoba menenangkan suasana dan menuntun Bapak untuk duduk.
“Dhimas Rohmat ngunjuk rumiyen.”, ujar Pak Wicak sambil menyodorkan segelas air mineral kepada Bapak.
“Maturnuwun Kang Wicak.”, dan Bapak pun menyedot air dalam gelas tersebut, sedikit hanya untuk menenangkan hati sebentar.
“Kangmas Wicak. Aku ora bisa ndherek methuk Kangmas ning Solo. Aku kudu njagani bojoku. Pak dhokter wau ngendika yen Rahmi kudu dites Lab.”, kata Bapak.
“Yow is ora papa Dimas. Mengko aku karo tangga-tangga sing methuk ning Sala. Sampeyane njagani Rahmi wae.Mengko ben dikancani karo Joyo lan Jiman. Aku karo tanga-tangga methuk kangmas mu dhisik. Mesake yen ora ana sing methuk, gawane akeh.”, Kata Pakdhe Wicak sambil menginstruksikan Paklik Joyo dna Pak Jiman untuk menemani Bapak.
“Inggih Kangmas. Matur nuwun sanget nggih Kang..”
“Ya mpun nek ngana. Ayo dhaftar ndhisit ning kantor bene Rahmi enggal-enggal dirawat.”
“Manggah Kang.”
Bapak dengan ditemani Pakdhe Wicak pun segera berlalu menuju ruang pendaftaran pasien di bagian depan puskesmas tersebut.
Keesokan harinya darah Simbok diambil dan dilakukan uji lab dan sore itu juga Pak Dokter Budi memberitahukan hasilnya pada Bapak. Bapak hanya mampu terdiam saat itu.
“Pak Rahmat. Mari tolong ke ruangan saya sebentar. Ada yang perlu kita bicarakan berkaitan dengan hasil uji Laboratorium mengenai kondisi Ibu.”, kata Pak Budi saat beliau melewati ruang UGD dimana Bapak duduk menunggu Simbok dengan mata berkaca-kaca penuh kepasrahan.
“Inggih Pak Dokter.”, dan Bapak pun mengikutinya dibelakang, selalu dibelakang Pak dokter.
“Mari Pak, silakan duduk.”
“Inggih Pak dokter.”
“Begini Pak. Hasil uji Lab sudah ada dan menurut hasil uji Lab tersebut, kemungkinan ada miom di rahim istri Bapak.”
“Miom niku napa nggih Pak? Kawula boten mudheng Pak.”
“Miom itu seperti daging tumbuh Pak. Tapi tumbuhnya itu ditempat yang tidak seharusnya, jadi agar pasien kembali sembuh harus dioperasi.”
“Oh.. lha bojo kula ugi kedah dipunoperasi Pak?”
“Iya Pak Rahmat. Demi kesembuhan Ibu. Biaya operasi memang cukup mahal. Tetapi demi kesembuhan Ibu hal itu sebaiknya segera dilakukan Pak.”
“Inggih Pak.”
“Ya sudah Pak. Kalau Bapak setuju, operasi akan kami lakukan besok Pak.”
“Inggih pak dokter.”
“Baiklah. Kalau begitu Bapak tolong tanda tangani dulu surat persetujuan operasi ini ya Pak.”
“Inggih Pak Dokter.”
Dan keesokan harinya pun simbok dioperasi. Namun untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Di ruang operasi itu akhirnya simbok menghembuskan nafas terakhir beliau setelah operasi selesai dan tangan beliau bergenggaman erat dengan bapak. Aku Cuma bisa terdiam saat itu. Terdiam menatap dan mengiringi jenazah simbok ke pemakama. Aku benar-benar tidak memiliki daya saat itu. Terlalu kaget dan hanya bisa pasrah karena aku belum bisa apa-apa.
Dan kini kejadian yang sama hampir terulang. Bapak, satu-satunya penyemangat ku pun sakit dan dirawat di rumah sakit yang sama. Dan aku pun tidak bisa untuk menunggui beliau karena ujian terbesar sepanjang kuliah ku akan dilaksanakan pada esok hari, tepat saat bapak akan memasuki ruang operasi….
Jakarta, 3 Agustus 2010
Hari ini aku ujian skripsi. Berangkat dengan pikiran yang masih tertuju pada bapak. Hanya pada bapak. Bahkan semalaman pun aku tidak mampu membuka buku atau sekedar mereview hipotesis dan kesimpulan yang telah aku susun. Aku hanya ingin segera selesai ujian dan terus pulang ke rumah, menunggui bapak dirumah sakit.
Setelah satu jam dalam ruang 3×5 meter itu, setelah berdebat cukup lama dengan para penguji aku pun dipersilakan keluar dan melihat hasil ujian 1 jam kemudian.
“Saudari Syifaturrohmah. Silakan masuk.”, kata Prof. Soekamto, kepala pengujiku sekaligus membuka pintu mempersilakanku masuk.
“Selamat ya. Anda lulus dengan nilai akkumulasi 89. Selamat berjuang untuk mengabdikan dan mengamalkan ilmu Anda. Terimakasih.”, ucap beliau sekaligus menyalamiku.
“Terimakasih Pak.”,jawabku.
Girang berjingkrak aku keluar dari ruangan itu dan segera aku bereskan berkas-berkas skripsiku dan meluncur menuju kosan. Hari ini juga aku akan pulang. Naik bus ke Purwokerto dan akan melanjut dengan bus ke Kebumen. Hari ini.
Kebumen, 14 Agustus 2010.
Masih subuh saat itu. Aku segera memasuki halaman rumah sakit dan Paklik Joyo sudah menunggu didepan.
“Syukurlah Nduk, kowe wis tekan. Bapakmu taksih pingsan ning ruangan. Mengko ngenteni jam 7 ya nembe entuk melbu. Saiki ngaso ndhisit. Hayuh ngeteh ndhisit.”
“Inggih Paklik.”
Setelah tiga jam menunggu di luar akhirnya aku pun masuk. Bapak masih belum sadarkan diri dengan selang yang menempel dibadannya. Aku menyalami dan mencium tangan Bapak.
“Pak, dalem sampun wangsul. Dalem sampun lulus Pak. Lulus kanthi piji 89. Dalem sampun dados sarjana, kados pasejanipun Bapak lan simbok Pak..”
Garis lurus di monitor pembaca denyut jantung Bapak pun berganti menjadi garis lurus dan berbunyi tit…tit..tit…tit…
Bapak menghembuskan nafas terakhir Bapak tepat seusai pemberitahuan kelulusanku. Bapak, aku ikhlas. Semoga senyum Bapak merupakan ridla Bapak dan Alloh untuk langkah kedepanku..
Untuk teman-teman yang baru wisuda
Parungkuda, 5 Mei 2011.